بسم الله الرّحمن
الرّحيم
الحمدلله
ربّ العالمين، والصّلاة والسّلام على اسراف الأنبياء والمرسلين، سيّدنا ونبيّنا
محمّد، وعلى آله وأصحابه أجمعين، أمّابعد
Para
ulama dan tokoh masyarakat yang kami muliakan,
Dewan
hakim yang kami hormati,
Bapak
ibu pengunjung yang dimuliakan Allah.
Dalam mukadimah Konvensi Hak-Hak
Anak yang disetujui oleh PBB, tanggal 20 November 1989, menimbang bahwa seorang
anak sepenuhnya harus dipersiapkan untuk menjalani kehidupan sebagai pribadi
dalam suatu masyarakat, sehingga harus dibesarkan dalam semangat cita-cita yang
telah diproklamirkan pada piagam PBB. Maksudnya hadirin, setiap bangsa telah
menaruh perhatian intens terhadap anak dan pendidikannya, karena pembahasan
mengenai anak merupakan problematika urgen dan harus menjadi prioritas.
Pendidikan anak telah menjadi topik
diskusi para pemikir Islam beberapa abad silam, seperti al-Ghazali, al-Qabisi,
Ibnu Sina, dan lainnya, juga menjadi diskusi para pakar pendidikan Barat
seperti John Amos Comenius, Jean Jacques Rousseau, dan pakar-pakar lainnya yang
meskipun berbeda pola pikir, tetapi memiliki kesamaan dalam perhatian mereka
terhadap anak.
Mengapa demikian? Karena persoalan
moralitas adalah problema yang selalu up to date tak lekang
oleh waktu, tak lapuk oleh zaman, dan persoalan perilaku adalah komponen yang
tidak lepas dari generasi penerus. Tetapi hadirin, dekadensi moral telah
menembus dinding usia ataupun kasta, sehingga bukan hanya anak-anak yang tidak
beradab, orang tua pun tidak sedikit yang tidak beradab, tidak hanya generasi
muda yang suka melanggar norma, orang dewasa pun sering tak punya tata karma,
sehingga hadirin, kemerosotan akhlak telah meracuni kaum muda, kaum tua, tak
peduli pria atau wanita, tak mengenal miskin ataupun kaya.
Berbicara mengenai akhlak
sebagai popular philosophy of morality, seakan seperti trending
topicyang tak pernah kunjung habis di kalangan akademisi, kalangan ilmuwan,
kalangan juru dakwah, kalangan ulama, kalangan orang tua, maupun kalangan
masyarakat secara luas. Mengapa demikian? Karena kajian mengenai perilaku
adalah pembahasan tentang kaidah kehidupan manusia, tentang aturan yang harus
dijalani, dan pedoman yang harus ditaati. Problematika perilaku manusia seperti
tidak kunjung habis, karena tidak sedikit orang kehilangan pikiran logis, di
depan berwajah manis, tapi hatinya dipenuhi hasrat iblis, sehingga tidak ragu
berbuat bengis, hatinya tertawa walaupun matanya menangis.
Oleh karena itu hadirin, fenomena
demoralisasi kronis yang telah banyak terjadi di negeri ini, menimbulkan
kegelisahan akademik kami, untuk bisa memberikan kontribusi yang berarti,
sebagai bentuk kepedulian terhadap bangsa ini, untuk memberikan konsep
solutif-konstruktif terkini, melalui syarhil qur’an kami, yang berjudul: KELUARGA
DAN PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK BANGSA. Dengan merujuk pada ayat al-Qur'an
surah at-Tahrim ayat 6:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللهَ مَا
أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Hadirin yang dimuliakan Allah…
Secara implisit Doktor Muhammad
Sulaiman al-Asqori dalam Zubdat al-Tafsir min Fath al-Qadirmenjelaskan bahwa, conclusi dari
ayat tersebut adalah menjaga istri agar menjadi shalihah, yang pandai menjaga
diri, menjaga kehormatannya, menjaga rumah tangganya, menjaga harta suaminya.
Tapi tak kalah penting nilainya adalah, dia pandai menjaga, membina serta
mendidik anak-anaknya. Quraish Shihab menambahkan bahwa pendidikan harus
diawali dari rumah, orang tua bertanggung jawab terhadap anaknya, dan pasangan
suami isteri bertanggung jawab terhadap perilaku masing-masing.
Berkaitan dengan penjelasan
tersebut, seorang anak tumbuh berdasarkan intensitas perhatian orang tuanya, karena
orang tua dan anak merupakan satu ikatan dalam jiwa, meski berpisah raga, jiwa
keduanya menjadi satu dalam ikatan, dan ikatan ini ada dalam bentuk hubungan
emosional dan tercermin dalam perilaku anak, demikian dituliskan oleh Syaiful
Bahri Djamarah dalam bukunya Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga.
(halaman 27).
Dapat dipahami, bahwa maksud dari
firman Allah dalam surah at-Tahrim ayat 6 tersebut menegaskan kepada setiap
individu muslim, untuk menjaga diri dan keluarganya terlebih pada aspek
pendidikan kepada isteri maupun anak-anaknya, seorang ayah yang mampu
memberikan akulturasi agama kepada isteri dan anaknya, dan seorang ibu yang
pandai dalam mendidik anak-anaknya. Secara konseptual, yang terpenting dalam
pendidikan terhadap anak adalah pendidikan agama dan akhlak.
Dalam konteks ini, setiap orang tua
tidak hanya memiliki kewajiban untuk menumbuhkan anak secara fisik, tetapi juga
memiliki kewajiban mendidik anak-anaknya, terutama dalam memberikan nilai agama
dan akhlak, karena nilai pendidikan inilah yang menjadi pedoman dasar seorang
anak dalam menjalani kehidupannya, sehingga seorang anak memerlukan bimbingan,
pengarahan dan pengawasan dalam menuju kedewasaan. Oleh karenanya hadirin,
pendidikan anak harus dipandang sebagai paramount of
importance atau sebagai prioritas pertama dan utama.
Setiap orang tua yang memenuhi
kewajiban terhadap anak-anaknya, secara tidak langsung merupakan tindakan
nasionalisme dan bentuk upaya pembebasan krisis moral yang berkepanjangan,
layaknya pengorbanan para pejuang dalam merebut kemerdekaan, karena dalam
konteks kekinian, kita sedang terjajah sejak dalam pikiran, tertindas secara
kejiwaan.
Bangsa Indonesia dulu dikenal
sebagai bangsa yang memiliki kesantunan, identik dengan budaya ketimuran, tapi
sekarang, para politikus dipenuhi sandiwara dan pencitraan, pelacuran hampir
dihalalkan, ulama yang gemar keduniaan, para pelajar yang sering tawuran, para
pedagang yang senang melakukan penipuan, bahkan lembaga hukum tidak lagi dapat
diberikan kepercayaan, karena kepentingan pribadi dan golongan yang paling
dikedepankan, tak peduli rakyat kebingungan, tidak tahu yang mana musuh yang
mana korban, tidak mengerti antara kejujuran dan kebohongan.
Proses perbaikan hanya bisa terjadi
jika saya, anda, dan kita semua, mau menerapkan revolusi mental sesungguhnya,
mendidik diri sendiri dengan baik agar bisa mendidik keluarga kita,
mengembalikan fitrah kita sebagai manusia biasa, serta mau merefleksikan setiap
ajaran agama dalam diri kita, keluarga kita, kerabat kita, orang-orang terdekat
kita, dengan merenungkan firman Allah dalam surah an-Nahl ayat 78:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
Hadirin yang dimuliakan Allah…
Jalaluddin as-Syuyuti dan Jalaluddin
al-Mahaly dalam tafsir Jalalain menjelaskan bahwa jumlah kalimat laa ta’lamuuna syai’an berkedudukan menjadi hal (keadaan) atau kalimat keterangan, dan lafaz as sam’a bermakna jamak sekalipun kalimatnya mufrad. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa seluruh indera (penglihatan, pendengaran, dan hati) adalah
agar manusia bersyukur sehingga mau beriman. Quraish Shihab dalam tafsir
al-Misbah menambahkan, bahwa pengetahuan manusia diperoleh melalui upaya
manusiawi atau pendidikan. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan memegang peranan
penting dalam menentukan moral bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar